legal problems
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ
يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا
ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada
siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah
dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
(darinya), kecuali ululalbab. Q.S. al-Baqarah: 269
Term Al-Hikmah bermakna ilmu. Sehingga orang-orang yang dikaruniai ilmu
oleh Allah Azza wa Jalla senantiasa dilimpahi dan dilingkari oleh kebahagiaan,
keberkahan dalam menjalani bahtera kehidupan. “Menurut perspektif Al-Mukarrom
Al-Marhum Al-Magfurlah Mbah Kyai Sulthon Abdul Hadi”
Hukum sembelihan (dalam kasus ini ayam) sudah disembelih
sesuai aturan fiqih dan yakin bahwa sudah benar, akan tetapi ayam tersebut
masih bertahan hidup. Lantas bagaimana sikap yang harus kita ambil, menyembelih kembali atau
membiarkan serta merawatnya ?
Terkait fenomena tersebut, artikel ini mencoba menelisik dan
memberikan solusi atas kegundahan partner semasa hidup di ponpes
Tambakberas. Sebelum penulis masuk pada wilayah pembahasan, perlu diketahui
dan dipahami oleh siapapun pembaca artikel ini. Bahwa setiap fan ilmu memiliki
kaidah di setiap disiplin keilmuan masing-masing. Sejauh yang penulis ketahui,
kaidah sering kali di definisikan حكم أغلبي على معظم أجزائه (ketetapan yang dapat diterapkan
pada kebanyakan bagian-bagiannya). Istilah tersebut penulis dapat pada saat durus manhaj ath-Thulab yang diampu
oleh Gus Rif’an Nashir. Dalam artikel ini penulis mencoba menyajikan irisan
keterangan dari para intelektual muslim terkait legal problems
sesembelihan. Dalam Qur’an Al-karim term terkait sembelihan dapat ditemukan
pada Q.S. al-Baqarah:
49, 67, 71, 173, 196. Q.S. al-Ma’idah: 3, 5. Q.S. al-An’am: 142, 145. Q.S. al-A’raf:
77. Q.S. Ibrahim: 6. Q.S. an-Nahl: 115. Q.S.
al-Hajj: 33, 34, 36. Q.S. an-Naml: 21. Q.S. al-Qashash: 4. Q.S. ash-Shaffat:
102, 107. Q.S. al-Fath:
25 dan Q.S. asy-Syams:
14.
قَوْلُهُ وَالْحَيَاةُ
مُسْتَقِرَّةٌ) الْحَيَاةُ الْمُسْتَقِرَّةُ وَالْمُسْتَمِرَّةُ وَعَيْشُ
الْمَذْبُوحِ: اعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ الثَّلَاثَةَ تَقَعُ فِي عِبَارَاتِهِمْ
وَيُحْتَاجُ إلَى الْفَرْقِ بَيْنَهَا، فَأَمَّا الْمُسْتَمِرَّةُ فَهِيَ
الْبَاقِيَةُ إلَى انْقِضَاءِ الْأَجَلِ إمَّا بِمَوْتٍ أَوْ قَتْلٍ وَالْحَيَاةُ
الْمُسْتَقِرَّةُ هِيَ أَنْ تَكُونَ الرُّوحُ فِي الْجَسَدِ وَمَعَهَا الْحَرَكَةُ
الِاخْتِيَارِيَّةُ دُونَ الِاضْطِرَارِيَّةِ كَالشَّاةِ إذَا أَخْرَجَ الذِّئْبُ
حِشْوَتَهَا وَأَبَانَهَا، وَأَمَّا حَيَاةُ عَيْشِ الْمَذْبُوحِ فَهِيَ الَّتِي
لَا يَبْقَى مَعَهَا إبْصَارٌ، وَلَا نُطْقٌ، وَلَا حَرَكَةٌ اخْتِيَارِيَّةٌ
Al-hayah al-mustaqirroh wa al-mustamirroh wa
‘aisu al-madzbuh (kehidupan yang tetap, berlangsung, dan kehidupan hayawan yang
disembelih). Dalam kutipan fragmen ini syekh zakariya ibn muhammad ibn
zakariya al-anshari memberikan batasan terkait keterangan al-Hayah. al-Hayah
al-Mustaqirroh ialah ketika ruh berada di jasad dengan disertai gerakan
bebas tanpa adanya gerak paksaan, seperti serigala mengelurkan usus dan menampakkanya.
al-Hayah al-Mustamirroh berupa kehidupan yang tetap sampai tibanya ajal
baik dengan kematian atau dibunuh. hayat ‘aisi al-Madzbuh ialah
kehidupan hewan, ketika selesai disembelih yang mana penglihatan, suara, dan
gerak bebas tidak ada lagi pada hewan tersebut.
Asna al-Mathalib fi syarhi raud ath-Thalib, Zakariya ibn Muhammad ibn
Zakariya al-Anshari, juz 1, hal 538.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إن الله كتب الإحسان
على كل شيء، فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة، وإذا
ذبحتم فأحسنوا
الذبح، وليحد أحدكم شفرته، وليرح ذبيحته".
قال الشافعي رضي الله عنه: كمال الذكاة بأربع: الحلقوم،
والمريء، والودجين، وأقل ما يكفي من الذكاة إتيان الحلقوم والمريء
Rasululloh SAW bersabda: “ Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsan (baik) atas setiap sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik,
jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, hendaklah
salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan
sembelihannya”
Imam Syafi’i: “sempurnanya sembelihan itu pada 4 hal,
berupa hulqum (tenggorokan atau saluran pernapasan), Mari’ (jalan atau
saluran makanan), wadajaini ( 2 urat leher). Batasan minimal dalam
penyembelihan ketika hulqum dan mari’ terputus.” Pendapat Imam Sayafi’i hanya
memperjelas maksud keterangan hadits tersebut.
As-Syafi fi syarhi musnad as-Syafi’i Li Ibn
al-Atsir, Majduddin Abu As-Sa’adat Al-Mubarok,
juz 5, hal 420.
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم (مَا
أَنْهَرَ الدَّمَ
وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ)
قَالَ الْعُلَمَاءُ فَفِي هَذَا
الْحَدِيثِ تَصْرِيحٌ بِأَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِي الذَّكَاةِ مَا يقطع ويجرى الدم
ولايكفى رضها ودمغها بما لايجرى الدَّمَ
Rosululloh Saw bersabda: “segala sesuatu yang ditumpahkan darahnya dan
nama Allah disebut, maka makanlah kecuali yang disembelih menggunakan gigi dan
kuku. Menurut ulama’ hadits diatas penjelas terkait keabsahan penyembelihan,
bahwa hewan yang disembelih darahnya harus mengalir tidak cukup dengan raddha
(meremuk) dan damagha (melukai sampai tembus ke otak)”. Raddha dan damagha lebih mengarah kepada
menyakiti hewan sembelihan pada proses penyembelihan, sehingga hal tersebut
dilarang.
al-Minhaj bi as-Syarhi shohih muslim ibn
al-Hajjaj, abu Zakariya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, juz 13, hal 123.
قال أصحابنا ولو ترك من الحلقوم والمرئ شيئا ومات الحيوان فهو
ميتة وكذا لو انتهى إلى حركة المذبوح فقطع بعد ذلك المتروك فهو ميتة
Ulama Mazhab Syafi’i: jika tertinggal sesuatu dari tenggorokan dan
kerongkongan tidak terputus sempurna dan hewan tersebut mati maka hukum
dagingnya ialah bangkai (haram) dan begitu juga apabila proses sembelihan
seperti ini tidak memutus tenggorokan dan kerongkongan secara sempurna namun
hewan tersebut hampir mati kemudian diulangi menggorok tenggorokan dan
kerongkongan yang tersisa setelahnya maka hukum dagingnya ialah bangkai (haram)
al-Majmu’ bi syarhi al-Muhadzab, abu Zakariya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf
an-Nawawi, juz 9, hal 87
تؤكل سواء عاد عن قرب أو بعد رفع
اضطرارا أو اختيارا عاد الأول أو غيره. لأن الثانية ذكاة مستقلة. وإن كانت لو تركت
لا تعيش لإنفاذ مقتلها فإن عاد عن قرب أكلت سواء رفع اضطرارا أو اختيارا،
وما يأتي من أن منفوذ المقتل لا تعمل الذكاة فيه فهو في منفوذه بغير ذكاة أو بها مع
البعد، وإن عاد عن بعد فلا تؤكل رفع اضطرارا أو اختيارا والظاهر أن القرب معتبر
بالعرف
Jika penyembelih
mengulang Kembali sembelihannya dalam tempo masa yang jauh atas sembelihan yang
awal, dikarenakan beberapa hal baik idhtiroron (terpaksa) atau ikhtiyaron
(tidak terpaksa), maka daging hewan tersebut tidak boleh dimakan. Tempo
lama dan pendek diperhitungkan dengan Batasan urf ( kebiasaan, adat,
konvensi).
Minah al-Jalil ‘ala
syarh mukhtashor kholil, muhammad ibn ahmad aliesh, hal 408, juz 2 ( ulama
malikiyyah )
الضرب الثالث: أن يكون الفعل مشتملًا على مصالح ومفاسد، فإن
أمكن تحصيل المصالح ودرء المفاسد فعلنا ذلك، وإن لم يمكن ذلك فإن كانت المفسدة أو
المفاسد أعظم من المصلحة أو المصالح فإنه ينهى عن هذا الفعل لدفع هذه المفسدة،
وهذا النوع هو المراد بقاعدة درء المفاسد
مقدم على
جلب المصالح. وإن
كانت المصلحة أعظم من المفسدة فإنه يؤمر بهذا الفعل لتحصيل هذه المصلحة وتحتمل هذه
المفسدة.
Setiap perbuatan, keputusan selalu mencakup mashalih
(kebaikan) dan mafasid (keburukan). Ketika suatu perbuatan, keputusan bisa
menghasilkan mashalih dan mencegah mafasid maka harus dilakukan, meskipun hal
itu tidak mungkin. Perbuatan, keputusan ketika lebih besar mafasid
didalamnya dari pada mashalih maka hal itu harus ditinggalkan dengan landasan
menolak mafasid. Apabila lebih besar mashalih dari pada mafasid
maka hal itu harus dilakukan dengan landasan menghasilkan kemaslahatan serta
meminimalisir kemafsadatan yang timbul dalam menghasilkan kemaslahatan.
Syekh Taqiyuddin al-Hisni, al-Qowa’id Lilhisni, hal 346, juz 1
kesimpulan: dari kontruksi hipotesa diatas, sikap yang diambil terkait persoalan hukum dapat diputuskan dengan mengacu kadar konteks urgensitas.
Nb: keseluruhan referensi penulis ambil dari maktabah syamilah.
barakallah ustadz
BalasHapusAamiin
BalasHapus