Kafa'ah

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ

“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik”(QS. Ali ‘Imran: 14)

Dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim Lil Imam Ibnu katsir: Ayat diatas dimulai dengan kata an-Nisa’ karena tidak ada  fitnah yang lebih bahaya dan lebih kuat selain fitnah yang timbul dari perempuan. Pendapat imam ibnu katsir tersebut dilandasi hadits Nabi “tidak ada fitnah terhadap lelaki setelahku (wafatnya beliau) yang lebih bahaya kecuali fitnah dari perempuan”.

Al-Alim Al-Allamah Syekh Abi Bakar Utsman Ibn Muhammad Syatho’ Ad-Dhimyahti Al-Bakri dalam kitabnya ‘Ianah ath-Tholibin menegaskan, bahwa Pernikahan merupakan as-Syarai’ al-Qodimah (syariat/hukum terdahulu). Syari’at pernikahan dimulai oleh nabi adam dan siti hawa yang berlanjut sampai pada saat ini hingga disurga. Bahkan manusia diperkenankan menikah disurga meskipun dengan mahromnya selain ushul dan furuq ( menikahi ibu atau putrinya). Maqashid syariah dari pernikahan ada 3; menjaga keturunan, mengeluarkan air (mani) yang berada dalam tubuh apabila ditahan akan menyebabkan penyakit, dan mendapatkan kenikmatan.

Ironisnya pada era sekarang, terdapat isu sosial pada pernikahan yang dianggap memiliki KASTA karena dalam pernikahan terdapat anjuran kafaah (sepadan/setara) bagi mempelai. Sebagaimana pengamatan Sahabat Mahasiswa Uin Sayyid Ali Rahmatullah program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang menganggap kafaah sebagai kasta dalam pernikahan, bahkan sejawat itupun menampilkan fragmen aqwal ulama dalam literatur klasik. Sebagaimana berikut;

سريفة علوية خطها غير شريف فلا ارى جواز النكاح وان رضيت ورضي وليها لان هذا النسب الشريف الصحيح لايسامي ولا يرام

“Seorang yang bukan syarif melamar syarifah alawiyah maka hal tersebut diperkenankan dalam pernikahan, Ketika syarifah alawiyah dan walinya ridho terhadap lamaran yang bukan dari syarif atau sekufu. Karena nasab (keturunan) syarif shohih (baik/bagus) tidak serasi/setara dengan selain syarif”

Bughyatul Murtasyidin, al-Allamah Sayyid ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin Umar.

لا يجوز لشريف تزويج بنته على غير شريف، فإن كانت بالغة ورضيت جاز له، فالكفاءة حق للمرأة والولي، وتكون بذلك مسقطة لكفاءتها.

"Tidak boleh bagi seorang Syarif (Sayyid) mengawinkan anak perempuannya (Syarifah) dengan selain Syarif, namun andaikata ia (Syarifah) telah baligh dan ridha, maka diperkenankan baginya melakukan hal tersebut. Karena persolaan kesetaraan (kafa'ah) merupakan hak bagi perempuan dan walinya, dan jika salah satunya menafikan perkara tersebut, hilanglah anjuran kesetaraan dalam pernikahan"

Umdatul Mufti wal Mustafti, Mufti Hadramaut Imam Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Ahdal

            Terkait pengamatan tersebut, dirinya (sahabat Mahasiswa) meminta penulis untuk mengulas lebih dalam terkait persoalan kafaah. Apakah implementasi kafaah pada era saat ini memang lebih mengarah ke-arah kasta atau memang aturan kafaah membawa kemaslahatan dalam pernikahan ?

Dengan segala kemampuan penulis yang terbatas. Penulis akan mencoba mengulas persoalan tersebut (kafaah) agar pikiran pembaca benar-benar menyadari bahwa kafaah memang membawa kemaslahatan dalam ruang lingkup pernikahan terutama kepada kedua mempelai, apalagi dalam konteks sekarang kafaah memang dan seharusnya diterapkan. Pada kedua fragmen teks diatas sedikit memberikan knowledge bahwa kafaah tidak menjadi syarat sah dalam pernikahan, akan tetapi lebih mengarah kepada ajaran kehati-hatian ketika memilih pasangan hidup. Bahkan kafaah diperuntukkan kepada Wanita dan walinya. sehingga dalam persoalan kafaah Perempuan dan walinya diharuskan menimbang dan memperhatikan siapa orang yang melamar dirinya atau putrinya. Dalam Pena ini, penulis mencoba menjelaskan terkait maksud pensyariatan kafaah dalam pernikahan, pernikahan yang tidak sepadan (kafaah) pada masa Rosululloh saw. Materi ini mencoba diulas dengan menampilkan aqwal ulama’  dari literatur klasik.

 

وَأَمَّا السَّفِيهُ فَالْكَفَاءَةُ فِي حَقِّهِ غَيْرُ مُعْتَبَرَةٍ كَمَا أَنَّهَا لَا تُعْتَبَرُ فِي حَقِّ الصَّغِيرِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْأَبِ وَالْجَدِّ تَزْوِيجُ الصَّغِيرِ بِمَنْ لَا تُكَافِئُهُ لِأَنَّ الرَّجُلَ لَا يُعَيَّرُ بِدَنَاءَةِ الْمَرْأَةِ وَهِيَ تُعَيَّرُ بِدَنَاءَةِ الرَّجُلِ وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ الْأَصْحَابِ إنَّ الرَّجُلَ لَا يُعَيَّرُ بِاسْتِفْرَاشِ مَنْ دُونَهُ وَالْمَرْأَةُ تُعَيَّر بِمَنْ هُوَ دُونَهَا

“menurut pendapat Ashab as-Syafi’i (murid imam syafi’i): kafaah menjadi hak perempuan dan walinya karena seorang perempuan akan menjadi hina sebab hinanya pasangan (suami) dan laki-laki tidak hina atau dicela sebab adanya kekurangan dari pasangan (istri)”

Asna al-Mathalib fi Syarhi Raudh ath-Thalib, Syekh  Abu Zakariya al-Anshari, Juz 3, hal 146

فالكفاءة في الدين لازمة بالإجماع، حتى لا يجوز نكاحُ مسلمة بكافر، وأما في غيره فغير لازمة، واعتبر الكفاءة في النسب الجمهور

“kafaah (kesetaraan) dalam hal agama merupakan kelaziman (hal yang harus terpenuhi). Menurut Jumhur Ulama’ kafaah dalam hal nasab (keturunan) merupakan I’tibar”

Badzlu al-Majhud fi hilli Sunani Abi Dawud, Syekh Kholil Ahmad Saharanfuri, Juz 8, Hal 5

معنى الاعتبار التدبر والنظر في الأمر كقوله تعالى: {فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ}  أي: تدبروا وانظروا فيما نزل بقريظة والنضير، فقايسوا أفعالهم واتعظوا بالعذاب الذي نزل بهم

“Makna I’tibar berupa Tadabbur dan Nadzhor(melihat dengan mempertimbangkan) terkait suatu konteks, seperti firman Allah (QS. al-Hasyr: 2) dengan penafsiran yang diarahkan kepada peristiwa bani Quraidhoh dan Bani Nadhir. mengambil pelajaran pada konteks tersebut dinamakan I’tibar”

Dengan keterangan Tafsir al-Basith maka menjadi jelas maksud I’tibar dalam kutipan kitab Badzlu al-Majhud fi hilli Sunani Abi Dawud. Bahwa kafaah secara Nasab menjadi keputusan Mayoritas Ulama’ yang membawa kemaslahatan dalam pernikahan. keputusan para Ulama' tersebut merupakan proses panjang dari hasil riset dan pengamatan , sehingga hasil keputusan tersebut diredaksikan memakai kata I’tibar.

Tafsir al-Basith, Abu al-Hasan Ali ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ali al-Wahidi an-Naisabury as-Syafi’i, Juz 12, Hal 273

وليس في الكفاءة حق للشرع بحيث لو رضيت الزوجة ووليها بزوج غير كفء لها لا اعتراض على هذه الزوجية، وإنما يثبت الاعتراض لمن لم يرض منهما دفعا للعار والضرر عن نفسه، وبهذا يتبيين خطأ القول بأن اعتبار الإسلام للكفاءة يجعله دين الطوائف ويجعل في المسلمين منبوذين وغير منبوذين.

“Kafaah bukan termasuk hak syari’at, dengan statement ketika calon istri dan walinya ridho atas lamaran calon suami yang tidak sepadan/setara maka tidak ada pertentangan atas pernikahan tersebut. pertentangan itu muncul bagi seseorang yang tidak ridho atas pernikahan keduannya karena suatu dalil atau alasan mencegah ‘aib/bahaya atas dirinya sendiri. Dengan munculnya pertentangan ini, menjadi jelas bahwa kesalahan ucapan atau anggapan terjadi ketika kafaah itu diarahkan kepada Din ath-Thowaif (agama kelompok) dan menyebabkan orang muslim ada yang terasingkan dan tidak terasingkan. Ketika kafaah diarahkan kepada Din ath-Thowaif”

Ahkam al-Ahwal as-Syakhsiyah fi as-Syariah al-Islamiyah, Syekh Abdul Wahab Kholaf, Hal 73

وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي الْجَهْمِ بْنِ صُخَيْرٍ (*) الْعَدَوِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ فَاطِمَةَ بِنْتَ قَيْسٍ تَقُولُ: «إِنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا ثَلَاثًا، فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم سُكْنَى وَلَا نَفَقَةً. قَالَتْ: قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي، فَآذَنَتْهُ، فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ، وَأَبُو جَهْمٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لَا مَالَ لَهُ، وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ، وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، فَقَالَتْ بِيَدِهَا هَكَذَا: أُسَامَةُ، أُسَامَةُ! فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: طَاعَةُ اللهِ وَطَاعَةُ رَسُولِهِ خَيْرٌ لَكِ، قَالَتْ: فَتَزَوَّجْتُهُ، فَاغْتَبَطْتُ

Rosululloh Muhammad SAW: pernah menyuruh Fatimah binti Qois agar memberitahu beliau  Ketika masa iddahnya telah habis. Dengan selesainya masa iddah maka Fatimah binti Qois bisa menerima lamaran dari seseorang. Fatimah binti Qois memberitahu Baginda Rosul SAW bahwa iddahnya sudah selesai dan datanglah lamaran dari 3 laki-laki yang bermaksud memperistri Fatimah binti Qois. Laki-Laki tersebut ialah: Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah ibn Zaid. Rosululloh Saw menjelaskan ketiga laki-laki tersebut kepada Fatimah binti Qois. Mu’awiyah seorang pria miskin tidak memiliki harta sama sekali. Abu Jahm seorang pria yang banyak memukul wanita. Tetapi Usamah ibn Zaid berbeda..., lalu Fatimah binti Qois memperjelas mana yang bernama Usamah ibn Zain dengan menggunakan isyaroh telunjuk jarinya. Baginda Nabi SAW, berkata kepada Fatimah binti Qois: Ta’at pada Rosul Allah SWT merupakan hal terbaik untukmu. Fatimah binti Qois menjawab: Aku menikah dengannya dan aku mendapatkan kebahagian/kemanfaatan.

Minnah al-Mun’im fi Syarhi Shohih Muslim, Abu Al-Husain Muslim ibn Al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Juz 3, Hal 351

وَأَمَّا إِشَارَتُهُ صلى الله عليه وسلم بِنِكَاحِ أُسَامَةَ فَلِمَا عَلِمَهُ من دينه وفضله وحسن طرائقه وَكَرَمِ شَمَائِلِهِ فَنَصَحَهَا بِذَلِكَ فَكَرِهَتْهُ لِكَوْنِهِ مَوْلًى ولكونه كان أَسْوَدَ جِدًّا فَكَرَّرَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْحَثَّ عَلَى زَوَاجِهِ لِمَا عَلِمَ مِنْ مَصْلَحَتِهَا فِي ذَلِكَ

Abu Zakariya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf An-Nawawi dalam kitabnya Al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim ibn Al-Hajjaj, Juz 10, Hal 98. Memberikan keterangan tambahan Dawuh Baginda Nabi SAW terkait keputusan memilih Usamah ibn Zaid sebagai pasangan hidup Fatimah binti Qois, karena Usamah ibn Zaid laki-laki yang baik agamanya, memiliki keistimewaan, memiliki riwayat hidup yang baik, dan senantiasa diselimuti oleh kemuliaan. Akan tetapi Usamah ibn Zaid seorang yang berkulit hitam dan juga dari kalangan budak yang dimerdekakan, sehingga Fatimah binti Qois sempat menolak dan tidak setuju dengan keputusan Rosululloh SAW. Pada akhirnya, Baginda Nabi tetap menganjurkan Fatimah binti Qois untuk menikah dengan Usamah ibn Zaid karena Baginda Nabi mengetahui kemaslahatan/kebaikan yang timbul dari pernikahannya dengan Usamah ibn Zaid.

 

Kesimpulan: Dalam  Ahkam al-Ahwal as-Syakhsiyah fi as-Syariah al-Islamiyah, Syekh Abdul Wahab Kholaf  mungkin bisa meluruskan perspektif  terkait pensyari'atan kafa'ah dalam pernikahan bukan mengarah kepada kasta atau Din ath-Thowaif.  pensyariatan kafa'ah berupa upaya untuk menciptakan keharmonisan dalam berkeluarga dan berumah tangga. Agar pasangan saling mengerti dan menyadari akan peran dengan sesama pasangan.

0 Response to "Kafa'ah"

Posting Komentar

Nazhariyyah al-Hudud

Hukum Islam merujuk pada realitas sosial yang memengaruhi pembentukan, interpretasi, dan penerapan hukum dalam masyarakat. Ini mencakup berb...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel