Counter terhadap pemikiran muhammad syahrur
Pemikiran-pemikiran
Muhammad syahrur yang kontroversial, dinilai sebagai pendangkalan terhadap agama,
sehingga menyebabkan dirinya dituduh sebagai “an enemy of islam” dan “a
western Zionist agent” serta ingkar sunnah. Karena disamping syahrur
mengkritisi al-Qur’an dengan gagasannya yang dekonstruktif, ia juga tidak
mempercayai bahwa hadis merupakan wahyu. Berdasarkan fakta tersebut, Tidak
sedikit intelektual Muslim yang mengkritik pemikirannya, seperti Syaikh
Ramadhan al-Buithi yang menulis gugatannya dengan judul “al-Kholfiyah al-Yahudiyah li Syi’ari Qira’ah
Mu’ashirah”
diterbitkan oleh jurnal timur Tengah “Nahj al-Islam”. Dengan judul
gugatan syaikh al-Buithi, ia memberikan pesan bahwa gagasan-gagasan Syahrur
dalam Qira’ah Mu’ashirah terdapat background pemahaman yahudi. Kritikan lebih lanjut muncul dari Dr. Syauqi
Abu Khalil yang mengatakan bahwa karya Dr. Syahrur “Qira’ah Mu’ashirah” merupakan
perpanjangan tangan zionis. Bantahan terhadap Syahrur dalam bentuk buku seperti
Tahafut al-Qira’ah al-Mu’ashirah ditulis oleh Muhammad Thahir al-Syawwaf
(ahli hukum Lebanon). Menurut Thahir al-Syawwaf buku syahrur tersebut telah
diracuni idiom-idiom dan retorika Marxian. Salim al-Jabi dalam tesisnya “al-Qira’ah
al-Mu’ashirah li al-Duktur Syahrur: Mujarrad Tanjim” menyatakan bahwa karya
Syahrur bukan karya hasil penelitian yang akurat dan komprehensif, melainkan
hanya dugaan semata.
Mahir al-Munjid dalam karyanya Munaqasyat
al-Isykaliyah al-Manhajiyah fi al-Kitab wa al-Qur’an, menyatakan bahwa
karya syahrur sempat menjadi bestseller di Timur Tengah bukan karena
kualitas kandungannya akan tetapi lebih karena faktor-faktor. Pertama, buku
syahrur menawarkan ide-ide baru Ketika penulisnya merasa tidak lagi puas
terhadap gagasan-gagasan salaf dengan menyandarkan pada produk abad ke-20 dan
memanfaatkan kemajuan dan penemuan ilmiah modern. Kedua, tidak adanya
karya-karya pemikir lain yang dengan berani menyodorkan tema-tema yang
berbahaya dan rawan sebagaimana yang dikaji dalam bukunya Qira’ah Mu’ashirah.
Ketiga, buku ini juga berusaha melepaskan ikatan-ikatan, larangan-larangan dan
sanksi-sanksi hukum yang selama ini telah hidup dalam lingkungan sosial di
belahan dunia timur. Antropolog dari Amerika
yang Bernama Dale F. Eickelman, menyatakan bahwa pada tahun 1993 seorang
penjual buku di Kuwait menganggap bahwa buku syahrur lebih berbahaya dari pada Satanic
Verses (Novel yang mengacu pada insiden ayat-ayat setan pada masa Nabi Muhammad)
karya Salman Rusydie (berkebangsaan Inggris, namun lahir di india), mengingat
syahrur menulis karyanya tersebut dalam kapasitasnya sebagai pemeluk Islam
sebagaimana kita. Anggapan bahwa pemikirannya berbahaya, menyebabkan sebagian
pemerintah negara-negara Arab, semisal Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Emirat
Arab secara resmi melarang peredaran buku karya Syahrur di negaranya.
Terkait
counter terhadap pemikiran Muhammad Syahrur, penulis mencoba menyajikan
pemikiran Salim al-Jabi yang menulis disertasi bertajuk “al-Qira’ah
al-Mu’ashirah li al-Duktur Syahrur: Mujarrad Tanjim”. Salim al-Jabi
yang memiliki background terhadap kajian linguistik arab merasa gelisah, ketika seorang peniliti
suriah, Muhammad Syahrur mendekonstruksi beberapa term dan istilah pokok
dalam al-Qur’an yang selama ini sudah masyhur (terkenal) baik di wilayah
penafsiran al-Qur’an sendiri maupun dalam wilayah kajian linguistic arab
secara umum. Menurut al-Jabi, gagasan Qira’ah Mu’ashirah yang diusung
oleh Muhammad Syahrur secara konseptual dianggap sah. Karena Syahrur mencoba
memberikan penafsiran baru terhadap beberapa aspek dalam al-Qur’an. Hal semacam
ini di sisi lain juga merupakan fitrah pemikiran di mana dalam setiap dekadi
dan masa selalu ada pemikiran baru yang ditawarkan. Bagi al-Jabi, gagasan
yang sah secara konseptual namun faktanya berupa proyek yang belum sempurna,
ditambah Syahrur banyak terjebak dalam pola-pola pemaknaan istilah yang sempit
karena dilatarbelakangi oleh pemahaman syahrur terhadap makna kata secara
bahasa (bukan istilah) yang kemudian dibawa kepada makna yang mapan (istilah).
Lebih bahayanya lagi, ketika muhammad Syahrur mulai mendekonstruksi term-term
dalam wilayah penafsiran dan linguistik arab yang berdampak pada kegabahan
syahrur dalam menarik makna bahasa menjadi makna istilah.
Pola-pola
linguistik menurut Salim al-Jabi harus didudukan dalam posisi yang indah,
agar setiap peneliti al-Qur’an tidak jatuh dalam dekonstruksi bebas tanpa
landasan yang bisa berujung pada perubahan pedoman umum pemahaman Qur’an,
sebagaimana Muhammad Syahrur. Pola-pola pemahaman syahrur dalam memahami
kandungan al-Qur’an bisa lebih jelas dipahami dalam tabel artikel “Membaca
Muhammad Syahrur”. Dalam perspektif Salim al-Jabi, ketika memahami istilah ayat
muhkamat dan mutasyabihat memerlukan beberapa analisis, setidaknya
terdapat dua analisis, yaitu: analisis kebahasaan, dan analisis tematik
konstekstual al-Qur’an. Menurut al-Jabi, ayat muhkam ialah
sesuatu yang telah tetap dan tidak ada perubahan. Sedangkan mutasyabih
menurut bahasa adalah serupanya dua hal dalam bidang tertentu sehingga harus
ditentukan mana musyabbah-nya, musyabbah bih-nya dan waj
al-syabah. Berdasarkan hal ini, menurut al-Jabi, keseuruhan al-Qur’an
berupa muhkam dalam arti tidak ada perubahan sedikitpun didalamnya,
sebagaimana firmna Allah pada Q.S. Hud: 1.
Al-Jabi,
ketika menganalisis ayat muhkamat dan mutasyabihat
sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur, yaitu berpijak pada Q.S. Ali
Imran: 7. Namun, menurut al-Jabi pemahaman yang disampaikan oleh syahrur belum
sempurna, sehingga kesempurnaan pemahaman dalam memahami ayat tersebut harus
ditelusuri dari ayat yang pertama. Dalam pandangan al-Jabi, ayat pertama dan
kedua menjelaskan tentang misi penetapan sifat Allah, ayat ketiga dan keempat
menjelaskan kronologi penyampaian misi tersebut dengan melalui kitab-kitab
terdahulu. Ayat kelima dan keenam merupakan bukti ilmiah yang nyata dari misi
di atas. Sedang ayat ketujuh sendiri berbicara terkait kandungan ajaran
al-Qur’an yang tidak semunya baru, namun sebagaian merupakan ajaran baru dan
sebagain lain menyerupai ajaran-ajaran kitab samawi sebelumnya. Pada
ayat ketujuh ini, al-Jabi memberikan kesimpulan, bahwa beberapa kandungan
ajaran al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab terdahulu
(taurat dan injil).
Dalam menganalisis
pondasi gagasan syahrur dalam Qira’ah Mu’ashirah, al-Jabi mengunakan
analisis linguistik dan tematik kontekstual tidak hanya pada gagasan syahrur
terkait muhkamat dan mutasyabihat, namun pada setiap gagasan yang
diusung syahrur pada Qira’ah Mu’ashirah seperti nubuwwat, risalah,
umm al-Kitab. Seperti dalam analisa al-Jabi terkait nubuwwat; pertama,
dalam istilah nabiyy dalam bahasa arab merupakan sifat musyabbihat bi
isim fail yang diambil dari masdar yaitu kata nubuwwat, sedangkan
kata nabiyy diambil dari tiga kata (nubuww, nabi’un, naba’) yang memiliki makna beragam. Dengan pendekatan
tematik kontesktual al-Qur’an, al-Jabi memaparkan 3 karkater seorang nabi
sebelum diangkat menjadi nabi yang terdapat dalam Q.S. al-Anfal: 64, at-Taubah:
73, al-Ahzab: 1. Dengan analisis kebahasaan dan pendekatan tematik konstektual
al-Qu’ran, al-Jabi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nubuwwat ialah
sebuah tingkatan derajat yang digapai oleh seseorang yang memenuhi 3 kriteria
diatas, baik dia mendapat tugas maupun tidak. Namun terdapat perbedaan terkait tabligh
(penyampain risalah) antara nabi dan rasul, sebagaimana yang kita ketahui.
Conlusion: Dalam kacamata al-Jabi, Muhammad Syahrur
terjebak dalam pemaknaan bahasa yang tidak mapan, karena syahrur tidak begitu
memperhatikan kaidah lingusitik, dan konteks historisitas al-Qur’an. Syahrur selalu
menggunakan pembacaan kontemporer dalam karya Qira’ah Mu’ashirah-nya.
0 Response to "Counter terhadap pemikiran muhammad syahrur"
Posting Komentar