Counter terhadap pemikiran muhammad syahrur

Berdasarkan fakta perkembangan saintifik dan pergulatannya, terpancar dari suatu kegelisahan problematika sosial yang melandasinya. Begitulah yang menyebabkan Muhammad Syahrur, mulai memunculkan gagasan dan ide-ide yang dekonstruktif yang berlandaskan pengamatannya terhadap perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentative (masih dapat berubah), syahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia islam. Hasil elaborasi pembacaan syahrur terhadap teks-teks keagamaan, sehingga menyebabkan dirinya hadir ditengah-tengah Masyarakat dengan pemikiran-pemikiran barunya sudah penulis paparkan pada artikel “Membaca Muhammad Syahrur”.  Dalam suatu wawancara yang berjudul la aqbalu al-julusa ‘inda aqdam Ibni ‘Abbas wa asy-Syafi’i, Syahrur menyatakan bahwa dirinya tidak akan tunduk dibawah pendapat siapa pun sekalipun itu Imam Syafi’i atau Ibnu Abbas. Bahkan Syahrur mempertegas background pemikirannya yang tidak diwarnai oleh pemikiran Syaikh al-Albani, meskipun Ayah Muhammad Syahrur kental dengan pemikiran al-Albani.  

            Pemikiran-pemikiran Muhammad syahrur yang kontroversial, dinilai sebagai pendangkalan terhadap agama, sehingga menyebabkan dirinya dituduh sebagaian enemy of islam” dan “a western Zionist agent serta ingkar sunnah. Karena disamping syahrur mengkritisi al-Qur’an dengan gagasannya yang dekonstruktif, ia juga tidak mempercayai bahwa hadis merupakan wahyu. Berdasarkan fakta tersebut, Tidak sedikit intelektual Muslim yang mengkritik pemikirannya, seperti Syaikh Ramadhan al-Buithi yang menulis gugatannya dengan judul “al-Kholfiyah al-Yahudiyah li Syi’ari Qira’ah Mu’ashirah” diterbitkan oleh jurnal timur Tengah “Nahj al-Islam”. Dengan judul gugatan syaikh al-Buithi, ia memberikan pesan bahwa gagasan-gagasan Syahrur dalam Qira’ah Mu’ashirah terdapat background pemahaman yahudi.  Kritikan lebih lanjut muncul dari Dr. Syauqi Abu Khalil yang mengatakan bahwa karya Dr. Syahrur “Qira’ah Mu’ashirah” merupakan perpanjangan tangan zionis. Bantahan terhadap Syahrur dalam bentuk buku seperti Tahafut al-Qira’ah al-Mu’ashirah ditulis oleh Muhammad Thahir al-Syawwaf (ahli hukum Lebanon). Menurut Thahir al-Syawwaf buku syahrur tersebut telah diracuni idiom-idiom dan retorika Marxian. Salim al-Jabi dalam tesisnya “al-Qira’ah al-Mu’ashirah li al-Duktur Syahrur: Mujarrad Tanjim” menyatakan bahwa karya Syahrur bukan karya hasil penelitian yang akurat dan komprehensif, melainkan hanya dugaan semata.

Mahir al-Munjid dalam karyanya Munaqasyat al-Isykaliyah al-Manhajiyah fi al-Kitab wa al-Qur’an, menyatakan bahwa karya syahrur sempat menjadi bestseller di Timur Tengah bukan karena kualitas kandungannya akan tetapi lebih karena faktor-faktor. Pertama, buku syahrur menawarkan ide-ide baru Ketika penulisnya merasa tidak lagi puas terhadap gagasan-gagasan salaf dengan menyandarkan pada produk abad ke-20 dan memanfaatkan kemajuan dan penemuan ilmiah modern. Kedua, tidak adanya karya-karya pemikir lain yang dengan berani menyodorkan tema-tema yang berbahaya dan rawan sebagaimana yang dikaji dalam bukunya Qira’ah Mu’ashirah. Ketiga, buku ini juga berusaha melepaskan ikatan-ikatan, larangan-larangan dan sanksi-sanksi hukum yang selama ini telah hidup dalam lingkungan sosial di belahan dunia timur.  Antropolog dari Amerika yang Bernama Dale F. Eickelman, menyatakan bahwa pada tahun 1993 seorang penjual buku di Kuwait menganggap bahwa buku syahrur lebih berbahaya dari pada Satanic Verses (Novel yang mengacu pada insiden ayat-ayat setan pada masa Nabi Muhammad) karya Salman Rusydie (berkebangsaan Inggris, namun lahir di india), mengingat syahrur menulis karyanya tersebut dalam kapasitasnya sebagai pemeluk Islam sebagaimana kita. Anggapan bahwa pemikirannya berbahaya, menyebabkan sebagian pemerintah negara-negara Arab, semisal Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Emirat Arab secara resmi melarang peredaran buku karya Syahrur di negaranya.  

            Terkait counter terhadap pemikiran Muhammad Syahrur, penulis mencoba menyajikan pemikiran Salim al-Jabi yang menulis disertasi bertajuk “al-Qira’ah al-Mu’ashirah li al-Duktur Syahrur: Mujarrad Tanjim”. Salim al-Jabi yang memiliki background terhadap kajian linguistik arab merasa gelisah, ketika seorang peniliti suriah, Muhammad Syahrur mendekonstruksi beberapa term dan istilah pokok dalam al-Qur’an yang selama ini sudah masyhur (terkenal) baik di wilayah penafsiran al-Qur’an sendiri maupun dalam wilayah kajian linguistic arab secara umum. Menurut al-Jabi, gagasan Qira’ah Mu’ashirah yang diusung oleh Muhammad Syahrur secara konseptual dianggap sah. Karena Syahrur mencoba memberikan penafsiran baru terhadap beberapa aspek dalam al-Qur’an. Hal semacam ini di sisi lain juga merupakan fitrah pemikiran di mana dalam setiap dekadi dan masa selalu ada pemikiran baru yang ditawarkan. Bagi al-Jabi, gagasan yang sah secara konseptual namun faktanya berupa proyek yang belum sempurna, ditambah Syahrur banyak terjebak dalam pola-pola pemaknaan istilah yang sempit karena dilatarbelakangi oleh pemahaman syahrur terhadap makna kata secara bahasa (bukan istilah) yang kemudian dibawa kepada makna yang mapan (istilah). Lebih bahayanya lagi, ketika muhammad Syahrur mulai mendekonstruksi term-term dalam wilayah penafsiran dan linguistik arab yang berdampak pada kegabahan syahrur dalam menarik makna bahasa menjadi makna istilah.

            Pola-pola linguistik menurut Salim al-Jabi harus didudukan dalam posisi yang indah, agar setiap peneliti al-Qur’an tidak jatuh dalam dekonstruksi bebas tanpa landasan yang bisa berujung pada perubahan pedoman umum pemahaman Qur’an, sebagaimana Muhammad Syahrur. Pola-pola pemahaman syahrur dalam memahami kandungan al-Qur’an bisa lebih jelas dipahami dalam tabel artikel “Membaca Muhammad Syahrur”. Dalam perspektif Salim al-Jabi, ketika memahami istilah ayat muhkamat dan mutasyabihat memerlukan beberapa analisis, setidaknya terdapat dua analisis, yaitu: analisis kebahasaan, dan analisis tematik konstekstual al-Qur’an. Menurut al-Jabi, ayat muhkam ialah sesuatu yang telah tetap dan tidak ada perubahan. Sedangkan mutasyabih menurut bahasa adalah serupanya dua hal dalam bidang tertentu sehingga harus ditentukan mana musyabbah­-nya, musyabbah bih-nya dan waj al-syabah. Berdasarkan hal ini, menurut al-Jabi, keseuruhan al-Qur’an berupa muhkam dalam arti tidak ada perubahan sedikitpun didalamnya, sebagaimana firmna Allah pada Q.S. Hud: 1.

            Al-Jabi, ketika menganalisis ayat muhkamat dan mutasyabihat sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur, yaitu berpijak pada Q.S. Ali Imran: 7. Namun, menurut al-Jabi pemahaman yang disampaikan oleh syahrur belum sempurna, sehingga kesempurnaan pemahaman dalam memahami ayat tersebut harus ditelusuri dari ayat yang pertama. Dalam pandangan al-Jabi, ayat pertama dan kedua menjelaskan tentang misi penetapan sifat Allah, ayat ketiga dan keempat menjelaskan kronologi penyampaian misi tersebut dengan melalui kitab-kitab terdahulu. Ayat kelima dan keenam merupakan bukti ilmiah yang nyata dari misi di atas. Sedang ayat ketujuh sendiri berbicara terkait kandungan ajaran al-Qur’an yang tidak semunya baru, namun sebagaian merupakan ajaran baru dan sebagain lain menyerupai ajaran-ajaran kitab samawi sebelumnya. Pada ayat ketujuh ini, al-Jabi memberikan kesimpulan, bahwa beberapa kandungan ajaran al-Qur’an terdapat ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab terdahulu (taurat dan injil).

            Dalam menganalisis pondasi gagasan syahrur dalam Qira’ah Mu’ashirah, al-Jabi mengunakan analisis linguistik dan tematik kontekstual tidak hanya pada gagasan syahrur terkait muhkamat dan mutasyabihat, namun pada setiap gagasan yang diusung syahrur pada Qira’ah Mu’ashirah seperti nubuwwat, risalah, umm al-Kitab. Seperti dalam analisa al-Jabi terkait nubuwwat; pertama, dalam istilah nabiyy dalam bahasa arab merupakan sifat musyabbihat bi isim fail yang diambil dari masdar yaitu kata nubuwwat, sedangkan kata nabiyy diambil dari tiga kata (nubuww, nabi’un, naba’)  yang memiliki makna beragam. Dengan pendekatan tematik kontesktual al-Qur’an, al-Jabi memaparkan 3 karkater seorang nabi sebelum diangkat menjadi nabi yang terdapat dalam Q.S. al-Anfal: 64, at-Taubah: 73, al-Ahzab: 1. Dengan analisis kebahasaan dan pendekatan tematik konstektual al-Qu’ran, al-Jabi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nubuwwat ialah sebuah tingkatan derajat yang digapai oleh seseorang yang memenuhi 3 kriteria diatas, baik dia mendapat tugas maupun tidak. Namun terdapat perbedaan terkait tabligh (penyampain risalah) antara nabi dan rasul, sebagaimana yang kita ketahui.

    Conlusion: Dalam kacamata al-Jabi, Muhammad Syahrur terjebak dalam pemaknaan bahasa yang tidak mapan, karena syahrur tidak begitu memperhatikan kaidah lingusitik, dan konteks historisitas al-Qur’an. Syahrur selalu menggunakan pembacaan kontemporer dalam karya Qira’ah Mu’ashirah-nya.

0 Response to "Counter terhadap pemikiran muhammad syahrur"

Posting Komentar

Nazhariyyah al-Hudud

Hukum Islam merujuk pada realitas sosial yang memengaruhi pembentukan, interpretasi, dan penerapan hukum dalam masyarakat. Ini mencakup berb...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel