Nazhariyyah al-Hudud
Hukum Islam merujuk pada realitas sosial yang memengaruhi pembentukan, interpretasi, dan penerapan hukum dalam masyarakat. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan yang diakui dan diatur oleh hukum Islam, serta bagaimana hukum tersebut dipraktikkan di berbagai konteks sosial, budaya, dan Sejarah. Hukum Islam tidak diterapkan secara seragam di seluruh dunia Muslim, melainkan disesuaikan dengan konteks sosial, budaya, dan sejarah setempat. Hukum Islam memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan sosial melalui ijtihad (penafsiran independen) dan ijma’ (konsensus). Berdasarkan narasi-narasi realitas sosial, memunculkan pembacaan terhadap teks-teks keagamaan di masa modern dengan ketidakpuasannya terhadap hukum-hukum islam tradisional yang tercipta. Pembaharuan pembaharuan atau pembacaan baru terhadap teks keagamaan melalui kaidah-kaidah ushuliy (ushul fiqih). Namun, kaidah-kaidah ushuliy nampaknya tidak begitu menarik bagi sebagian pemerhati hukum islam dalam dimensi modernitas yang penuh dengan problem sosial. Para pemerhati hukum islam menawarkan metodologi baru dalam memahami teks-teks keagamaan sebagai bentuk landasan hidup bersama. Dalam artikel ini penulis hanya memamparkan gagasan teori Limit Muhammad Syahrur, Mengingat Syahrur tidak terlalu sepakat dengan metode-metode istinbath al-hukm dan produk yang dihasilkan.
Dinamika
kehidupan dan realitas yang menuntut kemajuan dan fleksibiltas, menjadi background
utama dalam menawarkan gagasan-gagasan baru. Menurut Syahrur, Umat islam
sekarang membutuhkan fiqih baru yang disusun berdasarkan landasan epistemologi
pengetahuan yang baru dan permasalahan kehidupan yang baru juga. Pentingnya
fiqih baru yang disusun berdasarkan landasan epistemologi pengetahuan yang baru
dan permasalahan kehidupan yang baru juga sangat disadari oleh syahrur,
mengingat madzhab-madzhab fiqih besar yang ada selama ini disusun berdasarkan
sistem pengetahuan yang ada saat itu dan merupakan bagian dari proses interaksi
antara islam dengan lokalitas historis tertentu yang dialami para fuqaha dengan
berbagai faktor politik, ekonomi, dan sosialnya sendiri. Sudah barang tentu
fiqih mereka adalah hal yang sangat cocok untuk masanya, namun belum cocok
untuk masa kita. Kita tidak bisa lagi menggunakan fiqih historis tersebut
apabila kita ingin melihat islam cocok untuk semua tempat dan waktu.
Syahrur
menyatakan dua poin penting dari fiqih historis yang menyebabkan munculnya
krisis berkepanjangan hingga sekarang: pertama, fiqih historis dibentuk
berdasrkan asumsi bahwa hudud allah adalah tasyri’ aini, konkret,
dan spesifik sehingga kreativitas manusia dalam bidang hukum menjadi sangat
kecil. Kedua, negara dipisahkan dari agama sehingga fiqih tidak pernah efektif
sebagai hukum negara yang mampu mengatur warga negara secara luas. Letak
flekibilitas hukum islam, bagi Muhammad syahrur, Ketika Masyarakat dunia
menerima bentuk negara-bangsa maka hukum islam juga harua menyatu dengannya.
Solusi inilah yang diyakini oleh syahrur, menjadi Solusi terbaik untuk
menyelesaikan berbagai problema.
Dalam
analisis teori batas/limit (nazhariyyah al-hudud), Muhammad Syahrur menawarkan
gagasanya dengan berpedoman pada dua aspek pemahaman keislaman, yaitu al-hanif
dan al-istiqamah. Menurut Syahrur Dalam Bahasa arab kata al-hanif
berasal dari kata hanafa yang berarti bengkok, melengkung. Adapun kata istiqomah, berasal dari
kata Qaum yang memiliki dua arti: 1. Berdiri tegak (al-Intishab)
dan kuat (al-‘Azm). Berasal dari al-Intisab ini muncul kata
al-Mustaqim dan al-Istiqamah, lawan dari melengkung (al-inhiraf).
Sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-Din al-Qayyim (agama yang
kuat dalam kekuasaannya).
Dalam
term al-Hanafiyah dan al-Istiqamah, Syahrur menggunakan
pendekatan analisis linguistik yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat
dalam Q.S. al-An’am: 161, yang memaparkan tiga term pokok: al-Din al-Qayyim,
al-Mustaqim, dan al-Hanif yang Nampak sekilas bertentangan. karena
memadukan dua hal yang sifatnya kontradiktif. Setelah menganalisa Q.S. al-An’am:
79, syahrur memperoleh pemahaman bahwa al-Hunafa adalah sifat alami dari
seluruh alam langit, bumi, dan bahkan electron yang terkecil sekalipun sebagai
bagian dari kosmos, bergerak dalam garis lengkung. Tidak ada dari tata alam itu
yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan tata kosmos itu
menjadi teratur dan dinamis. Al-Din al-Hanif dengan demikian adalah
agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-Hanif merupakan
pembawaan yang bersifat fitrah. Manusia sebagai bagian dari alam materi, juga
memiliki sifat pembawaan fitrah ini.
Sejalan
dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas
Masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial,
kebiasaan, atau adat. Oleh sebab itu, al-shirath al-mustaqim adalah keniscayaan
untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah sebabnya, kenapa
dalam al-Qur’an tidak akan pernah ditemui ihdina ila al-hanafiyah
melainkan ihdina al-shirarth al-mustaqim, karena memang al-hanafiyah
merupakan fitrah. Dengan demikian al-shirath al-mustaqim menjadi Batasan
ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.
Berangkat
dari kata kunci diatas, Syahrur kemudian merumuskan teorinya yang
mengundang/menimbulkan kontroversi (teori hudud). Syahrur memakai analisis
matematis (at-tahlily al-riyadhiy), ia mendeskripsikan hubungan antara al-hanafiyah
dan al-istiqamah bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada
sebuah matriks. Sumbu X mengambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah.
Sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah swt. Kurva (al-hanafiyah)
mengambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan sumbu X. namun Gerakan itu
dibatasi dengan hukum yang ditentukan Allah swt (sumbu Y). dengan demikian,
hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik,
yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dengan adanya dialektika, menunjukan bahwa
hukum itu adaptable (dapat menyesuaikan diri) terhadap konteks ruang dan
waktu.
Teori
batas yang digagas oleh syahrur, terdapat enam model, yaitu:
1. Ketentuan hukum yang hanya memiliki batas bawah (minimum). Seperti yang berlaku pada ayat tentang Perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi (Q.S an-Nisa: 22-23). Jenis makanan yang diharamkan (Q.S al-Maidah: 3, al-An’am: 145-156). Hutang-piutang (Q.S. al-Baqarah: 283-284), dan tentang pakaian Wanita (Q.S an-Nur: 31).
2. Ketentuan hukum yang hanya memiliki batas atas. Ini berlaku pada tindak pidana pencurian (Q.S al-Maidah: 38), pembunuhan (Q.S al-Isra’: 33, Q.S al-Baqarah: 178, Q.S an-Nisa’: 92).
3. Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan batas bawah sekaligus. Dalam hal ini meliputi persoalan hukum waris (Q.S an-Nisa’: 11-14, 176) dan persoalan poligami (Q.S an-Nisa’: 3).
4. Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus tapi dalam nuqthoh wahidah (satu titik koordinat). Batas ini, dalam arti lain tidak ada alternatif hukum lain, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih dari yang ditentukan. Ini berlaku pada hukuman zina, yaitu berupa hukuman 100 kali jilid/cambukan (Q.S an-Nur: 2).
5. Ketentuan hukum yang memiliki batas atas dengan satu titik yang cenderung mendekati garis lurus lurus tapi tidak ada persentuhan. Dalam ini berlaku pada hubungan pergaulan laki-laki dan Perempuan yang dimulai saling tidak menyentuh sama sekali antara keduanya hingga hubungan yang hampir mendekati zina (Q.S al-Isra’: 32).
6. Ketentuan hukum yang memiliki batas atas positif dan tidak boleh dilampaui dan batas bawah negatif yang boleh dilampaui. Dalam hal ini berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba sementara zakat sebagai batas bawahnya bernilai negatif boleh dilampaui.
kesimpulan: Syahrur dengan nadzariyah al-hudud
(teori batas) berusaha menyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an senantiasa relevan
pada setiap situasi dan kondisi, dan islam merupakan agama terakhir dan
bersifat universal yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. dalam Metode
ijtihad ini, Syahrur berupaya untuk memahami ayat-ayat hukum sesuai konteks
sosio-historis Masyarakat kontemporer. Metode ijtihad ini, bisa
dimplementasikan pada ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hududullah. Namun
tidak berlaku untuk ayat-ayat yang terkait ibadah ritual (shalat, puasa, haji,
dll) dan yang berkaitan dengan akhlak/moral, seperti larangan berbohong, dsb.
0 Response to "Nazhariyyah al-Hudud"
Posting Komentar